Kesenian Bantengan merupakan sebuah tarian Jawa yang meniru hewan banteng. Kesenian ini berkembang di tiga wilayah Jawa Timur, yakni Mojokerto, Malang, dan Batu. Namun, kesenian ini sekarang kerap sekali di panggil mberot.
Kata “mberot” ini memiliki hubungan erat dengan Kesenian Bantengan, sebuah warisan budaya yang kaya akan makna dan simbolisme. Orang yang mengontrol gerakan kepala banteng sering kali disebut sebagai yang “mberot”. Dalam konteks Kesenian Bantengan, jika bagian kepala banteng mengalami kesurupan atau “mberot”, biasanya orang yang memainkan bagian belakang juga mengalami hal serupa. Arti sebenarnya dari kata “mberot” sendiri adalah berontak, marah, atau mengamuk, berasal dari bahasa Jawa Timuran. Dalam istilah Jawa, “mberot” juga dapat diartikan sebagai melarikan diri atau lepas dari tali, khususnya merujuk pada sapi yang diikat. Dengan demikian, ketika seseorang “mberot”, seringkali diibaratkan seperti banteng yang sedang berontak dengan tenaga besar.
Permainan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli Kerbau atau banteng, adapun yang dibuat replika tanduk dari kayu.
Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Kesenian ini dimainkan oleh dua orang laki-laki, satu di bagian depan sebagai kepalanya, dan satu di bagian belakang sebagai ekornya. Biasanya lelaki bagian depan akan kesurupan, dan orang yang di belakangnya akan mengikuti setiap gerakannya.
Bantengan juga selalu diiringi oleh macanan. kostum macanan ini terbuat dari kain yang diberi pewarna (biasanya kuning belang oranye), yang dipakai oleh seorang lelaki. macanan ini biasanya membantu bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan.
Dalam perkembangannya, Bantengan juga mengalami modernisasi tanpa kehilangan identitas tradisionalnya. Saat ini, seni Bantengan sering kali dipadukan dengan elemen-elemen seni modern seperti musik elektronik atau koreografi kontemporer. Hal ini dilakukan untuk menarik minat generasi muda agar tetap menjaga dan melestarikan kesenian tradisional ini.
Seni Bantengan Malangan bukan hanya kebanggaan warga Malang, tetapi juga warisan budaya yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan mempertahankan kesenian ini, masyarakat tidak hanya melestarikan sejarah dan tradisi, tetapi juga menjaga jati diri mereka sebagai bangsa yang kaya akan budaya.
Adapun banyak sekali ornamen yang ada pada Bantengan yaitu: tanduk (banteng, kerbau, sapi, dll), kepala banteng yang terbuat dari kayu ( waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang, dll), mahkota Bantengan, berupa sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas, klontong (alat bunyi di leher), keranjang penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu hanya menggunakan kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang), gongseng kaki, keluhan (tali kendali)
Dalam setiap pertunjukannya (disebut “gebyak”), Bantengan didukung beberapa perangkat, yaitu:
• Dua orang Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar)
• Pemain Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden. Minimal 1 (satu) orang pada setiap posisi
• Sesepuh, orang yang dituakan. Mempunyai kelebihan dalam hal memanggil leluhur Banteng
• (Dhanyangan) dan mengembalikannya ke tempat asal
• Pamong dan pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan membawa kendali yaitu Pecut (Cemeti/Cambuk) • Minimal ada dua Macanan dan satu Monyetan sebagai peran pengganggu bantengan.
Riska Amalia Kurnia Sari
230402080033